Lagi-lagi rinai hujan membasahi tanah nirmala, bau tanah tercium mewangi kala bayu menerpa. Senja menghampiri, pertanda sang mentari mulai malu menampakkan parasnya. Langit memerah meredup menghitam. Lantunan adzan maghrib yang dikumandangkan muadzin menggema riuh se-antero desa. Dan, tibalah saatnya sang rembulan bersiap menampakkan paras eloknya.
Di malam ini begitu gelap, kulihat bulan dan bintang disana. Sang bintang berkedip mesra memandangi bulan yang terdiam. Ya, kini hanya aku yang berteman sepi dan merasakan cemburu kala melihat kemesraan antara bulan dengan bintang. Ku tarik nafas dalam-dalam lalu ku hempaskan perlahan. Kedua bola mataku melirik keseluruh persada. Ah, sunyi. Hanya bunyi jangkrik yang setia denganku malam ini. Tak lama setelah itu ponselku berdering pertanda notifikasi pesan singkat (SMS). Ku ambil ponselku dan ternyata dari seseorang yang teramat sangat kurindukan.
“Assalamu’alaikum, Cantikku.. Bagaimana kabarnya?”
Tersontak, aku kaget! Tanpa menunggu lama segera ku tekan tombol abjad pada keyboard ponselku menyusun sebuah kata menjadi kalimat balasan untuk SMS darinya.
“Wa’alaikumussalam, Mas.. Alhamdulillah sehat. Kamu pulang tah?”
(Dia, seorang pria yang 2 tahun silam sudah bersamaku, merasakan pahit manisnya kerinduan. Rindu yang teramat sangat karena dipisahkan oleh jarak dan waktu tanpa ada kabar rutin darinya. Mengingat dipondok tidak boleh membawa alat komunikasi apapun)
“Enggak kok, ini masih dipondok. Aku ditoko Kitab sama mas Said. Aku dipinjami ponselnya, Yun. Aku rindu kamu, ku harap disana kamu selalu sehat dan selalu dilindungi Allah kemanapun kamu pergi. Maaf, Yun. Aku nggak bisa lama-lama karena abis ini aku mau balik ke pondok.. Sungkan kalih yai nek dangu dangu, Jaga kesehatan nggih.. Assalamu’alaikum cantik”. (Beginilah paragraf balasan terakhir darinya dan aku sedikit galau. Kenapa hanya sebentar? Kan aku masih rindu)
Secangkir kopi hitam dan sepiring pisang goreng sudah berada disampingku. Menemaniku dalam sunyi sepinya malam ini. Aku duduk pada sebuah kursi panjang di balkon depan pintu kamarku. Ku seruput perlahan kopi hitamku sembari memandangi antariksa yang begitu menakjubkan. Ponsel masih dalam genggaman. Dan hatiku masih terasa sedih setelah mendapatkan SMS darinya. Aku sedih, mengapa hanya dalam waktu singkat ia mengabariku?
Ah, hujan tak kunjung mereda. Derasnya menghujam bumi dengan milyaran titik airnya. Senada dengan perasaanku yang begitu deras tengah merindukannya. Tak sengaja tanganku menyenggol secangkir gelas kopi disampingku. Ya, akhirnya tumpah. Kopi tumpah biarkan saja, karena masih bisa di bersihkan menggunakan kain. Tapi tidak dengan rinduku, kala rinduku tumpah hanya bisa diselesaikan dengan pertemuan. Rindu itu berat. Sungguh!
Aku merasakan jenuh, sepi, sunyi dan entah bagaimana lagi ku mendeskripsikan malam ini. Ku beranjak dari duduk manisku melangkah menuju meja belajarku. Ku ambil selembar kertas dan sebuah pena berwarna pink yang menjadi favoritku. Lalu, ku melangkah menuju balkon dan duduk kembali. Hmmm.. cuaca dan suasana sangat mendukung untuk dijadikan moment merangkai puisi.
Ku rangkai huruf menjadi sebuah kata. Kata perkata ku susun menjadi sebuah kalimat indah perbaitnya. Penaku menari dengan lincah mengikuti ayunan tanganku. Imajinasi melayang jauh.
“Gerimis rintik hujan gemercik
Aku berdiri di balik jendela bambu renta
Ku lempar jauh pandanganku ke-sekeliling persada
Hela nafasku terdengar parau
Lamunanku menembus ribuan air yang menghujam tanah nirmala
Sekelebat bayangan nampak di ujung sana
Terbangun aku dari lamunan
Ku coba pahami betul bayangan itu
Ah! Ternyata hanya halusinasiku
Dia.. dia tak pernah hiraukanku!
Sadarlah.. dia tak ada di sini.
Duhai hujan yang ku saksikan..
Tolong hanyutkanlah rasa rindu ini
Bawalah ia mengalir bersama ribuan
Air yang menggenang
Aku di sini berteman sepi
Menunggu sang pujaan menyadari
Betapa merindunya diriku kepadanya
Biarlah rindu ini terbawa oleh arusmu
Aku tak pantas menahannya
Karena ku tahu
Sang pujaan tak rindu padaku”.
Hatiku gelisah, aku meradang tak tahu harus bagaimana mengungkapkan rindu yang mematikan ini. Malam ini air mataku menetes bersamaan dengan derasnya air hujan.
–Tok..tok..tok..
“Kar, ini sudah malam cepat tidur jangan begadang ya”. (Terdengar suara khas yang sudah familiar kudengar berlalu meninggalkan pintu kamarku, ya, ayahku. Beliau adalah laki-laki pertama yang kucinta dan selamanya ada dihati).
Sudahlah, hari sudah larut malam. Tak baik bila aku menikmati malam ini hanya seorang diri. Sang bintang selalu membuatku iri karena kedekatannya dengan sang rembulan. Ah, aku sebal. Ku lipat kertas puisiku dan kuselipkan pada saku bajuku seraya mengangkat nampan yang berisi secangkir kopi dan sepiring pisang goreng yang tak sempat ku santap. Dan ku bergegas menuju kedalam kamar.
Sang rembulan tersenyum melihat tingkahku. Dan rinai hujan mulai menghentikan derasnya. Karena ia tahu, bahwa rinduku tak akan hilang bila hujan tak mereda. Biarkanlah rindu ini hanyut terbawa aliran air yang tersisa. Dan semoga hadirmu menjadi tamu indah dalam bunga tidurku malam ini, See you!
Oleh Sekar Wangi Wahyuni Putri